Wednesday, October 21, 2009

MENGOLOK MALAIKAT MAUT

Apakah yang terlintas dalam benak anda jika mendengar nama malaikat maut? Apakah jawaban yang akan anda berikan jika ditanya seperti apakah rupa malaikat maut itu? Seberapa angkerkah wajahnya? Benarkah kehadirannya membuat larinya rasa bahagia dan serta merta diikuti dengan kepiluan? Benarkah kehadirannya menciutkan nyali dan mengheningkan setiap suara yang ada? Benarkah sosoknya begitu menyeramkan dengan dibekali sesuatu benda yang belum pernah dibayangkan manusia dan berfungsi mencabut nyawa setiap makhluk yang bernyawa.
Masyarakat di negara barat menggambarkannya dengan sosok berjubah hitam, memakai sangkur panjang yang sangat tajam dan rupa tengkorak dengan dagu panjang seperti Film horor yang terkenal itu, Scream. Guru mengaji waktu kecil dulu menggiring opini saya tentang malaikat maut sebagai sosok yang sangat besar, bengis, tanpa belas kasihan dan memakai cambuk untuk melecut roh yang akan diambilnya agar mau ikut bersamanya.

Benarkah semua anggapan manusia tentang malaikat maut tersebut? Benarkah semua pendapat yang belum pernah diklarifikasi oleh malaikat maut tersebut? Bagaimana jika semua judgement yang kita alamatkan tersebut tidak benar sama sekali. Bagaimana jika semua asumsi tersebut salah besar dan yang benar justru sebaliknya? Bagaimana jika malaikat maut adalah sesosok yang sangat tampan rupanya, harum bau tubuhnya, komunikatif dan sangat ramah tutur bahasanya, bersahabat dan murah senyum. Ah... jika seperti itu, pastilah kematian sangat menyenangkan dan dirindukan semua orang.

Tapi, adakah orang yang berpikir seperti diatas, orang yang mengatakan bahwa malaikat maut adalah sesosok yang tampan dan enak dipandang, harum bau tubuhnya, elok bahasanya dan murah senyum. Adakah orang yang berpandangan seperti itu? Orang yang berpandangan bahwa keputusan malaikat bisa di lobby dan ditawar?

Adalah Yusuf As Siba’i, novelis kebangsaan Mesir yang berlatar belakang militer. Dialah novelis yang ingin menggiring pembaca untuk memandang dari sudut yang berbeda. Novel dengan judul “Tuan Izrail”, terbitan Navila ini, saya dapatkan dari perpustakaan sekolah yang sedehana tempat saya mengajar. Saya tergelitik saat membaca sinopsisnya. Sebuah novel sufi yang dikemas dengan humor yang sangat kocak dan diselipi kritik sosial yang sangat keras terhadap krisis moral anak manusia.

Lihat saja kata-kata persembahan pada pembukaan bukunya

“Tuan Izrail yang tampan,
Pernahkah ada, manusia sebelumku yang menghadiahi Engkau sebuah buku?
Pernahkah ada, makhluk selainku yang meniupkan lelucon dan olok-olokan ditelingamu”

Dalam buku ini, malaikat maut menjadi pemeran utama, dan Yusuf mencoba menghapus gambaran ganas tentangnya dari file memori otak manusia. Namun, tentu saja dengan selipan humor. Coba simak penggalan kata-kata, masih dalam pembukaan bukunya tersebut

“Telah kucurahkan segala jerih payah untuk membangun gambaran tentangmu. Dan jika aku salah menggambarkan sosokmu, maka Engkau sendirilah yang salah. Engkau terlalu menutup dan berpaling diri. Mungkin ini Engkau lakukan demi sebuah wibawa. Tapi mengapa Engkau tak pernah mencoba meski hanya satu kali. Misalnya, kembalikan saja ruh beberapa orang yang Kau cabut nyawanya, niscaya mereka akan memberikan gambaran yang benar tentang dirimu...”

Cerita awal novel ini bermula pada sebuah kondisi dimana terjadi kesalahan di akhirat. Malaikat maut keliru mencabut nyawa hanya karena kemiripan nama si korban. Tentu saja si korban tidak bisa terima dan minta dikembalikan ke bumi. Si korban meminta pertanggungjawaban si malaikat dengan mengancam akan membuat hancur karir si malaikat dengan mengadukan kesalahan tersebut kepada Tuhan. Kemudian terjadi tawar-menawar, akhirnya disepakati bahwa si manusia tidak dapat kembali ke bumi, tapi hanya dibiarkan mengapung antara bumi dan alam akhirat.

Setelah beberapa watu mengawang di alam antara tadi, muncul keisengan si manusia tadi meloby si malaikat untuk mencoba bagaimana rasanya bertugas sebagai malaikat maut. Karena kehebatannya meloby dan kebetulan si malaikat maut sedang ada meeting dengan Tuhan, maka kesepakatan pun dicapai. Si manusia menggantikan tugas malaikat maut dan harus mencabut 10 nyawa pada hari itu. Semua peralatan, prosedur dan petunjuk pencabutan nyawa pun sudah diberitahu. Bermacam skenario kematian yang harus dilakukan oleh si manusia, ada yang harus mencabut nyawa manusia dengan cara menenggelamkan pada saat mandi di laut, ada yang kena tembak, di bom, ditabrak kereta dan lain sebagainya. Namun, tak satupun yang mampu diselesakan oleh si manusia tersebut, berbagai kebodohan dan kekocakan menyertai proses pencabutan nyawa tersebut.

Yusus As Siba’i, yang juga mantan menteri kebudayaan Mesir, ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan melainkan sebuah proses keterbebasan manusia dari penjara dunia yang fana, penuh kebohongan dan kelicikan. Kematian hanyalah sebuah proses perpindahan. Prosesnya sangat gampang. Bahkan lebih gampang dari pindah rumah, tidak perlu membawa beban, tidak perlu menyewa mobil pindahan, tidak perlu ngangkut-ngangkut, tidak perlu birokrasi yang rumit. Seperti yang disampaikan Ommar Khayyam, : “ nyawa ini sungguh aneh, ia mampu menanggalkan jubah tebal di tanah. Lalu, naik menembus batas bintang yang terjauh. Celaka baginya. Ia tak lagi terpenjara dan dicerca”.

Salam Berry Devanda....

No comments:

Post a Comment