Thursday, November 12, 2009

TULIS!! ATAU KAMU BERDOSA

Aku tersentak dan terbangun dari tidur pulas ketika sesosok tua dengan pakaian serba putih mengakhiri percakapan dengan kata, “Tulis, Atau Kamu berdosa”. Sembari menyeka keringat yang membasahi sekujur tubuh, Terdengar azan subuh berkumandang, mendayu-dayu, menambah rasa gamang yang hebat setelah pertemuan dengan si tua tadi. Semilir angin di subuh hari menggiring raga ini untuk kembali mengangkat selimut dan memeluk guling lebih rapat dari sebelumnya.

Mencoba untuk mengingat-ngingat lagi apa yang telah membuat aku terjaga dari peristirahatan semenjak Isya tadi. Kepenatan terkumpul penuh dalam raga setelah selama satu hari penuh menjalani rutinitas. Aku masih ingat, sebelum tidur, diiringi rasa kantuk yang hebat, masih ku upayakan untuk menapak kembali hal-hal yang telah dilakukan seharian tadi. Semua berjalan sesuai rencana kecuali satu hal, menyelesaikan tulisan untuk blog yang sudah lama saya hiraukan. Ingatku, sebelum tidur masih memaksakan diri berpikir mau menuliskan apa. Banyak ide sebenarnya yang ingin ditulis tapi entah kenapa sebagian waktu habis untuk memikirkannya saja, tanpa ada realisasi. Walaupun saya paham betul, bahwa perubahan tidak akan terjadi jika hanya difikirkan, dibicarakan, dan di diskusikan melainkan dengan gerak nyata.

Kembali terlintas sosok tua yang merusak peristirahatan saya tadi, laki-laki dengan wajah yang tidak begitu jelas, tapi nampak ketegasan dan karisma rautan wajahnya. Dengan senyuman yang menyejukan hati. Awal pertemuan dengannya memberikan kesan welcome.

“Berapa usiamu anak muda?” demikian pertanyaan keduanya setelah nama ku.
“Belum genap 25 tahun pak”, jawab ku dengan ringan. “Ngapaian orang tua ini pake nanya umur, jangan-jangan dia mencari calon suami buat anak gadisnya” gumamku dalam hati.

Dia bertanya lagi, “apa saja yang sudah kamu perbuat selama pinjaman umur tersebut?, manfaat apa saja yang telah kau berikan buat orang banyak?”

Dengan semangat aku menjawab, “hmm....hmmm....hmmm...hmmm anu pak....hmmm.... anu”, susah juga ternyata. Emang pertanyaannya tadi apa sih? Saya coba eja lagi pertanyaan bapak tadi dalam hati. Pandangan bapak tua tadi makin tajam namun tetap dengan senyuman ragam makna.

Tunggu, tunggu, wait a minute... bukankah pertanyaannya , manfaat yang telah saya berikan buat orang lain? “Hmmmm....dulu saya pernah nolong nenek-nenek nyebrang jalan raya, nolongin orang tua saya ke warung beli bumbu masak. Dulu saya juga pernah minjemin duit pada teman yang lagi kesusahan, sampai sekarang pun belum di bayar. Bayangkan tuch... betapa bermanfaatnya saya buat orang lain. Heh... bener nggak pak”?

Pak Tua tadi tertawa tapi tak mengeluarkan suara, mendengarkan jawaban saya. Sebuah ekspresi yang membuat setiap orang yang melihatnya menjadi kesal.

“anak muda”, ia membuka penjelasannya.
“tahukah kau bahwa , kau bisa berbuat jauh lebih bermanfaat dari yang kau sampaikan tadi?” ia menghela nafasnya dalam sekali.

“tahukah engkau bahwa Tuhan menitipkan berbagai ide dan gagasan besar ke dalam benak mu?”

“Tahukah kau bahwa Tuhan memberikan ilham kepada mu, agar dapat kau sampaikan kepada orang banyak?” ia memalingkan pandangannya jauh di ufuk sana. Kemudian kembali memandang ku dengan pertanyaan, “lantas kenapa tidak kau sampaikan?” Dengan segera saya protes apa yang ditanyakanya itu “hmmm.....”, pak tua tersebut langsung memotong tak memberiku kesempatan untuk mengklarifikasi.

“Bukankah selama ini sudah banyak pemikiran-pemikiran brilian yang terlintas dalam benak mu?” lanjutnya.

“Tidak kah kau tahu, Tuhan memberikan kekuatannya kepada engkau agar dapat menyumbangkan kebaikan yang jauh lebih besar dari apa yang kau pikirkan” terangnya.
“Pahamkah kau, bahwa jika tidak kau sampaikan maka banyak orang yang tertunda keberhasilannya, masyarakat yang terhambat pemikirannya dan orang-orang yang salah kaprah tidak akan ada yang meluruskannya”. Jelasnya dengan penuh makna dan penghayatan.

“kenapa hanya kau simpan saja titipan Tuhan mu itu?, kenapa tidak kau sampaikan?”. Lanjutnya sembari menatap dalam setiap sudut mataku. Aku pun membetulkan tempat duduk ku.

“kau tahu Tan Malaka?” tanyanya
“ya, tentu aku tahu”. Jawabku

“seorang tokoh yang nyaris dilupakan oleh bangsanya sendiri” aku pun bersemangat menunjukan pengetahuan ku pada si Tua ini. Aku lanjutkan penjelasan ku, “Ia adalah seorang yang pertama kali mencetuskan ide negara Indonesia yang akan berdiri nantinya berbentuk Republik. Bapak bisa baca dalam bukunya Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Sebuah tulisan yang dibuat ketika sedang berada dalam pelariannya di Bangkok pada tahun 1925. Tulisan ini kemudian mengilhami Hatta dan Soekarno untuk menulis gagasan yang serupa pada tahun 1928 dan 1933. Tan Malaka memang tokoh besar dengan intelektual tinggi sehingga mampu merumuskan bentuk negera ini kedepannya”

“Kau bayangkan pak tua”, lanjutku menggurui dia. Di zamannya, Tan Malaka sudah mampu berpikir seperti itu, dimana tidak ada internet, buku-buku tidak mudah untuk didapat. Pemikirannya memang melampaui zamannya” tutup ku dengan semangat.

Pak tua tadi merespon dengan dingin dan basi, “ lantas, apakah yang akan terjadi jika Tan Malaka tidak menuliskan gagasan briliannya tersebut?” tanya nya enteng tanpa mengapresiasi jawaban ku yang panjang lebar tadi.

“Hmm..hmmm....hmm” gumam ku menghadapi pertanyaannya itu.

Pak tua itu berkata lagi “Jika Tan Malaka tidak menuliskannya, maka perjuangan tokoh-tokoh pemuda ditanah air akan selalu mengambang dan tidak mengerucut ke arah memperjuangkan kemerdekaan menuju terwujudnya negara republik ini”

“atau, katakanlah Tan Malaka menunda-nunda ia menuliskan gagasannya, pastinya banyak hal juga yang akan tertunda, mungkin saja kemerdekaan bangsa mu di undur 10 tahun dari tahun 1945”. Saya tertegun mendengar analisa pak tua ini. Tapi segera menyadarkan diri dan ku balik bertanya, “tapi saya kan bukan Tan Malaka, saya tidak punya ide se brilian itu. Nanti kalau saya tulis, banyak orang yang akan menghina gagasan saya, atau malah apa yang saya tulis belum pernah saya kerjakan sebelumnya”

Pak tua itu memberikan saya kuliah lagi, “ tidak perduli apakah ide dan gagasan mu brilian, tidak peduli anggapanmu, apakah tulisan mu akan dihina, dipuji atau malah tidak memberikan manfaat sama sekali”.

“kau tahu Andea Hirata” tanyanya padaku.

Aku mengangguk. “ Bukankah novelnya yang mengubah sejarah dunia sastra Indonesia itu pada awalnya bukan untuk dibaca oleh banyak orang, hanya sebuah memoar sebagai penghargaannya terhadap ibu gurunya. Dan tahukah kau bahwa novel itu memberikan inspirasi dan motivasi pada banyak orang?”

“tapi terkadang, gagasan yang terlintas dalam kepala ku belum pernah aku kerjakan, hanya sebatas ide saja”. Berontak ku.

“tidak peduli apakah sudah pernah kau kerjakan atau belum. Jika kau menuliskan hal tersebut, maka akan berguna bagi orang lain yang membacanya. Mungkin bagi dirimu tidak berguna, tapi bagi orang lain mungkin saja itu sangat penting artinya” cercanya.

Aku menunduk tanpa balas. Ia melanjutkan “ lantas apalagi alasan yang membuat mu tidak menyebar luaskan gagasan dan ide yang telah ditumpangkan Tuhan ke dalam benakmu? Terlalu egois kau jika hanya memikirkan ide itu untuk dirimu sendiri” pak tua itu menghakimi aku.
“jangan kau menghakimi aku seperti itu” aku membela diri.

Pak tua itu membalas, “ jika tidak, maka Tulis!! Atau Kamu Berdosa
Akupun terbangun dari peristirahatanku....

Salam Berry Devanda

***********************************************************************************************

Artikel ini diikutsertakan dalam kontes menulis yang diadakan oleh Indonesia Menulis yang diSponsori oleh:
01. Sawa Sanganam
02. Mbak Diah
03. Bujang Rimbo
04. Ahmad Sofwan
05. WP Template Gratis
06. Khairuddin Syah
07. Reseller Indobilling
08. Ardy Pratama
09. Hangga Nuarta
10. Abdul Cholik
11. Herman Yudiono
12. Aldy M Aripin

No comments:

Post a Comment